Das’ad Latif: Benarkah Dana Haji Rp144 Triliun Digunakan untuk Infrastruktur?
Pembatalan keberangkatan jamaah haji Indonesia kedua kalinya pada tahun 2020 dan 2021 menjadi polemik. Banyak informasi berseliweran mengenai pembatalan tersebut.
Salah satunya, soal penggunaan dana haji. Kemana dana haji tersebut yang saat ini mencapai Rp144 triliun. Apakah dana tersebut digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan sudah habis sehingga pemerintah tidak bisa memberangkatkan jamaah haji khususnya pada tahun ini? Masih banyak pertanyaan lain lagi.
Mengenai persoalan tersebut, Ustadz Das’ad Latif dalam sebuah dialog dengan Dewan Pengawas Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) mengungkap penggunaan dana haji yang pada akhir tahun ini diperkirakan mencapai Rp146 triliun.
Das’ad Latif melalui kanal Youtubenya mewawancarai anggota Dewan Pengawas BPKH, Abdul Hamid Paddu. Dialog tersebut disiarkan di kanal Youtube pada 28 Mei 2021.
Menurut Abdul Hamid Paddu, jumlah calon jamaah haji yang sudah mendaftar hingga saat ini lebih dari 4 juta orang. Dana mereka sebesar Rp25 juta per orang dikelola BPKH dengan usaha atau korporasi tetapi nirlaba.
Dalam sesi tanya jawab, Ustad Das’ad menanyakan, benarkah dana haji tersebut, salah satunya, digunakan untuk pembangunan infrastruktur? Abdul Hamid Paddu menjawab, tidak benar karena dana haji tersebut hanya bisa digunakan untuk empat hal.
Pertama, disimpan atau ditempatkan di perbankan syariah seperti deposito. Kedua, digunakan untuk membeli surat berharga syaraiah. Ketiga, digunakan untuk investasi, dan keempat digunakan untuk membeli emas.
“Mungkin berkaitan dengan surat berharga, itu milik pemerintah. Uang itu dimasukkan ke APBN, lalu di APBN dipakai untuk membangun,” kata Hamid Paddu.
Menurut dia, penempatan di perbankan syariah bisa deposito dan semacamnya. Menurut aturan, maksimal 30 persen dana haji bisa ditempatkan di perbankan syaraiah. Lalu investasi, bisa dengan membeli surat berharga seperti sukuk, baik milik pemerintah meupun swasta.
Kemudian Ustadz Das’ad bertanya lagi, “Kalau terjadi kekeliruan, atau dugaan penyimpangan, adakah jalan bagi masyarakat untuk menggungat?” Menurut Hamid Paddu, tentu bisa. Untuk laporan masyarakat, Hamid Paddu mengatakan bisa disampaikan melalui saluran yang sudah tersedia dengan sistem daring.
Dia mengatakan, BPKH punya sistem pelaporan berkala. Pertama, BPKH memberikan laporan setiap enam bulan sekali kepada menteri agama dan DPR. DPR bahkan melakukan pengawasan. Kedua, BPKH memberikan laporan langsung kepada presiden setiap satu tahun.
“Sama sekali tidak bisa rugi. Kalau rugi, menurut UU, kami 14 orang tanggung renteng, ditangkap semua, jadi tidak bisa rugi,” katanya.
Lalu yang terakhir, dia menjelaskan mengenai pengelolaan dana abadi ummat. Di BPKH, ada dua jenis dana yang dikelola, yaitu dana haji yang saat ini berjumlah Rp144 triliun, dan kedua, dana abadi ummat. Keduanya dikelola dan mendapatkan hasil.
Modal pokok dana abadi ummat berjumlah Rp3 triliun. Namun, yang bisa dipakai adalah hasilnya setiap tahun, sekitar Rp200 miliar. Alokasi hasil dana abadi ummat diperuntukkan bagi kemaslahatan ummat. Yaitu, untuk rumah ibadah, pendikakan agama seperti pesantren, kesehatan seperti rumah sakit atau penanganan Covid-19, kemudian ekonomi ummat seperti produk perhajian. Yang terakhir, untuk kemaslahatan atau kegiatan ormas Islam, majelis taklim, dan lainnya.