Kisah Harsono, Sukses Jual Cilok hingga Punya 3 Apartemen dan 13 Rumah Kontrakan
Harsono, pemilik cilok Edy saat berada di depan rombong cilok Edy di Kelurahan Tegalgede Kecamatan Sumbersarai Kabupaten Jember (Kompas.com/Bagus Supriadi)
JEMBER, KOMPAS.com – Di Jember, siapa yang tidak kenal dengan Cilok Edy.
Penjual cilok ini kerap ditemui di berbagai titik di kawasan kampus, seperti di depan kantor DPRD Jember, di depan kampus Universitas Jember dan Universitas Muhamadiyah Jember.
Tak hanya anak-anak yang menyukai Cilok Edy, namun juga mahasiswa hingga orang tua. Bahkan, Cilok Edy sempat memiliki beberapa cabang di Probolinggo dan Bondowoso.
“Dulu di Jember saja ada sepuluh rombong, sekarang tinggal empat rombong,” kata Harsono, pemiliki cilok Edy saat berbincang dengan Kompas.com di rumahnya Sabtu (19/6/2021).
Dalam sehari, Cilok Edy bisa menghasilkan Rp 5.000.000 dari empat rombong itu. Sebelum pandemi Covid-19, dia mampu meraup omset hingga Rp 8.000.000 per hari. Harsono memiliki karyawan sepuluh orang.
Terima kasih telah membaca Kompas.com.
Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu.
Lima orang berjualan langsung menggunakan rombong. Sedangkan lima orang lainnya bagian meracik dan memasak cilok.
Hasil dari berbisnis cilok, Harsono bisa membeli tiga apartemen, 13 rumah kontrakan hingga sawah. Bahkan, dia sudah menunaikan ibadah haji pada 2019 lalu.
Produk cilok Edy di Kabupaten Jember yang dikembangkan oleh Harsono sejak tahun 1997 sampai sekarang (Kompas.com/Bagus Supriadi)
Kisah awal berjualan cilok
Cilok Edy merupakan usaha yang dilakukan oleh pasangan suami istri Harsono dan Siti Fatimah. Warga Kelurahan Tegalgede Kecamatan Sumbersari itu memulai usaha sejak tahun 1997 lalu.
Sebelum menekuni bisnis ini, Harsono merupakan tukang ojek dengan sepeda hasil kredit. Namun karena tidak mampu membayar, sepeda itu diambil dan uang mukanya dikembalikan.
“Akhirnya uang muka itu dibelikan becak,” ucap dia.
Penghasilan dari becak tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selanjutnya, dia dia juga sebagai honorer petugas kebersihan Dinas Pekerjaan Umum dan Cipta Karya Jember.
Ide awal berjualan cilok dari dari ayahnya yang juga berjualan cilok di Bali saat itu. Sementara di Jember, masih belum ada cilok yang bahannya terbuat dari daging, yang ada hanya dari tepung. Akhirnya, Harsono menangkap peluang itu dan mulai berjualan cilok.
Ketika ayahnya pulang dari Bali tahun 1997. Dia bersama istrinya menirukan bisnis bapaknya, yakni menjual cilok dari bahan daging sapi dicampur tepung.
“Modal awal dulu paling hanya Rp 20.000,” ungkap dia.
Uang itu untuk membeli daging lalu diolah oleh istrinya menjadi cilok. Kemudian, Harsono memasarkan cilok ke berbagai tempat.
Harsono berangkat pukul 06.30 WIB untuk berjualan cilok secara keliling. Terutama di sejumlah sekolah yang ada di Kecamatan Sumbersari hingga Kecamatan Kaliwates.
“Berangkat pagi, pulangnya habis isya’,” aku dia.
Pertama kali berjualan, cilok tidak terjual habis. Bahkan, ketika menjual ke sekolah, wali murid tidak memperbolehkan anaknya membeli cilok karena merupakan jenis makanan baru.
Semangat Harsono mulai berkurang karena penghasilan tak sesuai dengan harapan. Dia kembali memilih jadi tukang becak selama dua bulan. Namun sang istri memintanya untuk berjualan cilok lagi.
“Waktu itu, penghasilan becak hanya Rp 5000. Sedangkan berjualan cilok Rp 10 ribu,” tambah Siti Fatimah, istri dari Harsono.
Karena mendapat dorongan dari istri untuk bersabar, Harsono kembali menjual cilok secara keliling.
Perjuangan Harsono berjualan cilok secara keliling selama lima tahun membuahkan hasil. Nama Cilok Edy mulai dikenal masyarakat. Wali murid yang awalnya tak mau membeli, kini mulai ketagihan karena memiliki rasa yang berbeda.
Harsono semakin semangat, setiap pagi dia menjual cilok di SD, kemudian siang hari jam 13.00 berjualan di SMP, lalu sore hari berkeliling di daerah perkotaan, seperti alun-alun Jember. Selama lima tahun berkeliling, permintaan Cilok Edy semakin banyak.
Dulu, daging sapi yang digiling untuk bahan cilok hanya sekitar 1,5 kilogram. Namun sekarang sudah sampai 25 kilogram daging setiap harinya.
“Tapi sekarang dicampur dengan daging ayam, karena daging sapi cukup mahal,” papar dia.
Sekitar tahun 2000, Harsono memasang telepon rumah. Ketika cilok yang dijual sudah habis, Harsono tinggal menelpon istrinya untuk membuat lagi.
“Tahun 2000-an itu mulai dikenal, hingga ambil tenaga orang lain karena sudah tidak nutut,” terang dia.
Nama Cilok Edy mulai naik daun di kalangan warga perkotaan. Nama itu dipilih karena mudah diingat, meskipun tidak ada sangkut paut dengan dirinya.
Saat itu, Harsono hanya memiliki satu rombong keliling untuk menjual cilok. Dirinya ingin menambah armada, namun tidak memiliki modal.
Akhirnya dia memberanikan diri mengajukan kredit uang ke perbankan senilai Rp 15 juta.
Uang itu digunakan untuk membeli rombong Cilok Edy hingga memiliki lima rombong. Uang itu terus diputar untuk nenambah rombong samapi memiliki sepuluh rombong.
Tak hanya itu, permintaan untuk membuka cabang Cilok Edy terus berdatangan dari Probolinggo, Bondowoso dan Lumajang.
Hanya saja, cabang yang ada di luar kota tidak bertahan lama karena ada kecurangan dari pegawainya.
“Buka di luar kota, cuma penjaganya curang,” ujar dia.
Akhirnya ditarik dan tidak ada cabang di luar kota lagi.
Harsono mengatakan tantangan yang dihadapi yakni semakin banyak penjual cilok. Untuk itu, dia semakin meningkatkan cita rasa cilok.
Siti Fatimah selalu mengawasi proses pembuatan cilok agar mutunya tidak berubah.
Mulai dari rasa, besar kecilnya cilok dan lainnya. Selain itu, juga mengatur keuangan yang diperoleh dari dari penjualan cilok.
“Pandemi Covid-19 juga pengaruh, pembeli yang mayoritas mahasiswa jadi berkurang,” jelas dia.
Putar uang untuk investasi
Uang dari hasil penjualan cilok tak ditabung oleh Harsono dan istrinya. Namun, ia menggunakan uang itu untuk investasi. Seperti membeli rumah untuk dijadikan rumah kontrakan dan rumah kos.
Selain itu, juga digunakan untuk membeli sawah hingga apartemen.
“Sekarang apartemen punya tiga untuk disewakan, rumah ada 13 untuk dikontrakkan dan dikoskan,” jelas Harsono.
Caranya, Harsono meminjam uang ke bank, lalu membayar dari hasil penjualan cilok. Uang yang dipinjam dari bank itu digunakan untuk membeli aset. Mulai dari rumah, sawah hingga apartemen.
Sekarang, Harsono terus menggeluti usaha tersebut. Dia mengelola perputaran uangnya agar bisnisnya terus berlangsung.
“Intinya dalam memulai usaha, harus telaten dan sabar,” ucap dia.
Dia menilai memulai bisnis tidak bisa langsung sukses. Namun butuh proses agar sesuai dengan harapan.
“Harus bisa mengalami suka duka menekuni bisnis itu,” ucap dia.
Permudah pelaku UMKM dapat kredit
Pandemi Covid-19 memberikan dampak yang besar terhadap pelaku usaha di Jember. Salah satunya, akses permodalan dari perbankan yang semakin selektif.
Namun, PT Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo) Jember memberikan kemudahan penjaminan dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Jamkrindo bekerjasama dengan perbankan untuk mendorong agar program PEN bisa berjalan dengan sukses.
“Kami menjembatani UMKM untuk mengakses permodalan dari sisi perbankan yang belum visibel namum sudah kapabel,” kata Kepala Kantor Unit Pelayanan PT Jamkrindo Jember Ilham Ardi Sugito.
Menurut dia, pelaku usaha di Jember yang mengajukan kredit pada perbankan untuk modal usaha fluktuatif. Pada Januari hingga Maret 2021 cukup tinggi. Namun sejak April hingga Mei 2021 menurun.
“Sampai saat ini kami di Jember ditarget kurang lebih Rp 3,2 Triliun untuk menjamin pembiyaan program PEN sampai Desember 2021,” jelas dia. Untuk itu, dia berharap agar para pelaku UMKM yang ingin mengembangkan usahanya agar naik kelas, bisa memanfaatkan program PEN tersebut.