Kisah Kamidi, Kakek Miliarder Sleman Tak Ingin Foya-Foya dan Larang Anak Beli Mobil
Kisah Kamidi, Kakek Miliarder Sleman Tak Ingin Foya-Foya (Foto: Harian Jogja)
JAKARTA – Kamidi warga Pundong 3, Kalurahan Tirtoadi, Kapanewon Mlati, Kabupaten Sleman, yang terdampak tol Jogja-Bawen telah menerima dana ganti rugi pada Kamis 19 Agustus 2021/
Kamidi bersama warga lainnya kini telah menjadi miliarder setelah lahannya terdampak proyek tol Jogja-Bawen. Meski sudah menjadi miliarder, sikap sederhana ditunjukkan Kamidi. Ia tidak ingin membelanjakan uang ganti rugi yang diperolehnya untuk foya-foya. Bakan ia melarang anaknya membeli mobil.
Kamidi mengaku sejak 1962 merantau ke Sumatra. Ia baru kembali ke rumah asalnya sejak tiga bulan lalu, untuk mengurus keperluan pelepasan lahan. Ia memiliki lahan dua bidang seluas hampir 1.000 meter persegi. “Pun nikmat jan jane, tapi kena tol, dibutuhkan pemerintah, gimana lagi,” katanya.
Dua lahannya diganti rugi masing-masing senilai Rp2,1 miliar dan Rp2,4 miliar. Total ganti rugi yang diterima ini akan dibagi kepada enam anaknya, dan dibebaskan untuk membeli tanah atau rumah di mana saja. Namun ia berpesan kepada anak-anaknya agar tidak membelanjakan uang tersebut untuk membeli mobil dan kebutuhan konsumtif lainnya.
“Saya larang. Kalau mobil jangan lah. Mobil itu cuma barang apa. Tapi kalau lahan, perumahan, bisa berguna untuk masa depan anak. Kalau mobil tapi perutnya lapar ya payah. Pertama buat makan, kedua disimpan, buat jaga-jaga kalau sakit,” ujarnya.
Di Dusun Pundong 1, 2, 3 dan 4, Tirtoadi, Mlati, total 126 bidang dan tiga nonbidang milik warga mendapatkan ganti rugi total Rp162 miliar, dengan besaran yang beragam. Salah satu dusun yang cukup banyak terdampak yakni Dusun Pundong 3, sebanyak 45 bidang. Di dusun ini, semua lahan terdampak merupakan lahan pekarangan.
Dukuh Pundong 3, Pekik Basuki, menjelaskan ada sekitar 20 keluarga yang lahannya terdampak dan telah mendapat duit ganti rugi. Namun masih ada sebagian warga yang belum mendapatkan ganti rugi karena beberapa alasan berbeda.
“Ada yang belum dapat, di Pundong 3 tujuh bidang. Bukan karena penolakan, tapi masalah data, pemberkasan, ada yang meninggal setelah pemberkasan. Terus ada masalah data fisik yang belum sesuai, masih direvisi. Ada yang orangnya di luar wilayah, di Kalimantan, sehingga tertunda,” ujarnya.
Setelah pencairan dana ganti rugi pada pekan sebelumnya, saat ini warga terdampak sedang bersiap untuk mencari lahan baru dan pindah rumah. Sebagian besar warga mencari lahan pengganti yang tidak jauh dari lokasi lahan terdampak, masih di sekitar Pundong 1, 2, 3 dan 4. “Seperti saya sendiri yang pindah di selatan situ,” katanya.
Pekik merupakan salah satu warga terdampak tol. Ia memutuskan mencari lahan sebagai rumah anyar untuk tempat tinggal tak jauh di selatan rumahnya saat ini. Ia mengaku tak sulit mencari lahan pengganti karena selain di sekitar lokasi pembangunan masih banyak yang menjual tanah. Apalagi uang ganti rugi yang diberikan juga jauh di atas harga pasar.
Dari total dua bidang lahan miliknya yang terdampak tol, ia mendapatkan ganti rugi total Rp9 miliar. Lahan seluas sekitar 2.400 meter persegi miliknya dihargai Rp4 juta per meter lantaran berlokasi di pinggir jalan dan terdapat bangunan di atasnya. Sementara lahan yang tidak ada bangunannya atau tidak di pinggir jalan dihargai Rp2,5 juta per meter.
Harga ini cukup jauh dari harga pasaran tanah di lokasi itu, yang berkisar Rp1 juta hingga Rp2 juta per meter untuk lahan di pinggir jalan. Meski demikian, kabar pembangunan tol telah mempengaruhi harga tanah di sekitarnya. Beberapa pemilik lahan menaikkan harga tanah, terutama lahan di sekitar lokasi yang tidak benar-benar mepet tol.
“Tapi kalau yang mepet tol malah turun. Enggak ada yang mau beli. Banyak contoh di sekitar sini tanah yang tidak terjual. Kebanyakan enggak mau, mungkin karena akses, lalu jangka panjangnya juga ada polusi sehingga terganggu. Ada yang menjual, mepet tol, dulu sudah laku, sudah jadi, tapi dibatalkan,” ungkapnya.
Di Pundong 3, hampir semua lahan merupakan tanah warisan, yang sebagian besar penghuninya masih memiliki hubungan darah. Pekik dan keluarga besarnya merupakan warga asli Pundong 3. Dengan pembangunan tol ini, ia harus kehilangan tanah warisan di lokasi aslinya.
Menurutnya, semua warga penerima ganti rugi memprioritaskan uang yang didapat untuk membeli lahan pengganti. Namun ia juga tidak menampik warga tetap membeli barang konsumtif seperti mobil. “Karena memang dapat ganti ruginya juga banyak. Kalau dapatnya pas-pasan kayaknya juga berpikir untuk [mencari] tempat tinggal saja,” kata dia.
Warga terdampak lainnya, Budi Sunarso, mengungkapkan sampai saat ini belum mendapatkan duit ganti rugi. Menurutnya hal ini terjadi karena ia termasuk warga yang telat menandatangani persetujuan pelepasan lahan, sehingga berpengaruh pada waktu penerimaan uang ganti rugi.
“Dulu ketika menerima besaran ganti rugi, saya melihat teman-teman dulu gimana. Kalau sudah pada tanda tangan aku ya tanda tangan. Tapi kalau teman-teman belum, aku ikut yang belum. Tapi ternyata cuma satu-dua orang yang belum. Kebanyakan sudah,” katanya.
Akhirnya ia ikut tanda tangan di detik-detik akhir. Hal ini mempengaruhi proses validasi yang juga kemudian terlambat. Meski demikian ia telah dijanjikan pencairan uang ganti rugi akan dilaksanakan pada September mendatang.
Lahannya yang terlibas tol sebesar 360 meter persegi tanpa bangunan di atasnya, sehingga ia menerima sekitar Rp1 miliar. Ia juga telah menyiapkan lahan pengganti tak jauh dari lokasi lahannya saat ini. “Di sekitar sini saja. Ini masih nego,” katanya.
Dia langsung ingin membeli lahan pengganti karena menurutnya tanah merupakan warisan leluhur. Tanah warisan di mata dia adalah harta pusaka yang tidak boleh dialihkan.
“Kalau saya menjual sekarang, berarti merampas hak anak-cucu. Harus tetap dipertahankan. Syukur kalau bisa dikembangkan,” kata dia.