Awalan

Cerita Then Soe Na Keturunan Tionghoa Memeluk Islam


 Hidayah bisa datang melalui orang-orang terdekat. Then Soe Na mengakui, cahaya petunjuk Illahi diterimanya dengan jalan demikian. Perempuan tersebut mengaku mulai mengenal Islam dari ibundanya.

Berbeda dengan ayahnya yang non-Muslim. Sang ibu merupakan seorang Muslimah. Kedua orang tuanya memang berlainan iman.

Sejak kecil, wanita yang akrab disapa Thenny itu mengikuti keyakinan bapaknya. Bagaimanapun, rumah tidak berarti kosong sama sekali dari aktivitas keagamaan Islam. Sebab, ibunya kadang kala mengerjakan amalan-amalan ibadah agamanya, semisal bershalawat atau doa.

Thenny mengenang, ibunya sering secara diam-diam mengajarkan beberapa ibadah Islam kepadanya. Ambil contoh, doa sebelum dan sesudah tidur dan makan. Bagaimanapun, ia cukup jarang melihat sang bunda shalat lima waktu.

“Ketika akan pergi tidur, Mama selalu melantunkan shalawat. Ya, bacaan itu ketika saya mualaf baru saya ketahui namanya shalawat. Tapi, shalawat dilantunkan waktu Papa sedang tidak ada di rumah. Kalau ibadah shalat, saya jarang melihat. Mungkin, Mama diam-diam shalat di kamar karena enggak enak sama Papa,” tutur dia beberapa waktu lalu.

Ibundanya juga mengajarkan kepada Thenny cara belajar membaca Alquran. Itu dengan membimbingnya menghafal dan mengucapkan huruf-huruf hijaiyah, dengan mengkaji buku Iqra. Bahkan, pada saat bulan Ramadhan anak perempuan ini juga diajarkan berpuasa.

Tentang ibadah ini, Thenny memiliki kesan tersendiri. Dahulu, ia beberapa kali pulang kampung ke rumah nenek dari pihak ibunya di Kuningan, Jawa Barat. Entah mengapa, momen itu selalu bertepatan dengan Ramadhan.

Saat bermain dengan anak-anak tetangga neneknya, Thenny sering kali malu untuk makan atau minum di depan mereka. Padahal, kawan-kawannya itu tidak merasa tersinggung kalau dia tidak berpuasa. Mereka memahami bahwa ayahnya beragama non-Islam. Namun, tetap saja perempuan keturunan Tionghoa itu merasa sungkan.

Di lingkungan rumah neneknya, Thenny kecil juga ikut dalam beberapa aktivitas keislaman. Sekadar ikut-ikutan, semisal pada malam takbiran atau saling bermaafan sesudah shalat Id. Menurutnya, tradisi yang dilakukan kaum Muslimin itu sangat berkesan baginya.

Hingga dirinya remaja, segala yang berkaitan dengan Islam masih belum mengetuk hatinya untuk lebih mempelajari agama ini. Baginya saat itu, Islam seperti agama-agama lainnya, yakni hanya muncul ketika ritual berlangsung. Akhirnya, anggapannya itu kemudian terbantahkan.

Begitu menjadi murid SMA, Thenny mulai tertarik untuk mengenal dasar agama tauhid. Apalagi, banyak kawannya yang Muslim menyarankannya untuk membaca terjemahan Alquran atau kisah-kisah Nabi Muhammad SAW.

Ia pun membaca buku-buku yang disarankan oleh mereka. Tidak hanya itu, Thenny juga berdiskusi dengan teman-temannya yang beragama Islam. Pada akhirnya, ia mengerti bahwa Islam tidak hanya mengatur tentang ritual-ritual, tetapi juga hidup secara keseluruhan.

Ketertarikannya dengan Islam semakin meningkat ketika SMA apalagi semakin banyak teman-teman yang Muslim. Saat itu dia ingin mencari tahu lebih dalam dengan masuk masjid. Sempat seorang siswa melarangnya untuk itu hanya karena dirinya non-Muslim. Padahal, perempuan ini hanya ingin mengenal bagaimana ibadah orang Islam.

Mulanya Thenny masih tetap beribadah dengan keyakinan yang diimani ayahnya. Namun, dirinya tak merasa nyaman. Sebab, sosok yang diyakini bapaknya itu sebagai Tuhan tidak ubahnya manusia. Ia pernah membaca dari sebuah buku keislaman, Tuhan haruslah memiliki sifat yang berbeda dari makhluk-Nya.

“Menurut saya, Tuhan tidak berwujud sama seperti makhluk, apalagi sama seperti ciptaan makhluk-Nya,” katanya.

Ia merasa, konsep ketuhanan dalam Islam lebih masuk akal. Khususnya konsep tentang mukhalafatu lil hawaditsi. Maknanya, Allah memiliki sifat yakni berbeda dengan ciptaan-Nya.

Ia pun mulai tidak betah dengan agama yang dipeluknya. Karena itu, beberapa kali Thenny muda “pamer” kepada kawan-kawan tentang sedikit pengetahuannya mengenai Islam. Bahkan, pernah pada suatu hari dia menunjukkan kepada gurunya hafalan huruf hijaiyah. Saat diminta membaca satu atau dua ayat Alquran, ia pun bisa membacanya.

Sang guru yang beragama Islam itu pun terkejut. Bukan hanya karena ada seorang murid yang bisa membaca sepotong ayat Alquran. Sebab, murid itu pada faktanya ialah seorang non-Muslim di sekolah non-Islam pula.

Akhirnya, Thenny mulai berupaya untuk pindah agama dengan menjadi Muslimah. Saat itu, hati nuraninya seperti terpanggil untuk berislam dan meninggalkan agama lama.

“Buat apa saya tetap di agama lama itu jika saya sudah tidak yakin kebenarannya? Semakin saya pelajari, semakin lama semakin aneh. Berbeda dengan Islam. Semakin saya pelajari Islam, semakin saya yakin bahwa agama ini adalah yang benar,” ujar dia.

Pada 2004, bertepatan dengan tanggal 27 Ramadhan, Thenny mengucapkan dua kalimat syahadat. Perempuan ini resmi menjadi Muslimah tatkala dirinya masih duduk di kelas satu SMA. Ia pun memilih nama baru, yakni Hasanah.

Untuk kebutuhan administrasi agar mendapatkan sertifikat, Thenny kemudian bersyahadat ulang di Masjid Azzawiyyah, Pekojan, Jakarta Barat. Usai prosesi itu, ia rajin mengikuti pengajian remaja di dekat rumahnya.

Di masa awal-awal sebagai mualaf, ia selalu sembunyi-sembunyi ketika hendak pergi ke masjid. Ibunya, yang sudah mengetahui kabar keislamannya, lalu ikut membantunya keluar dari rumah. Sementara, hingga saat itu sang ayah belum menyadari bahwa kini putirnya telah berislam.

Thenny belum mau terbuka dengan bapaknya. Sebab, dirinya khawatir akan menerima amarah besar dan ketakutan lainnya. Bagaimanapun, fakta itu kemudian terbongkar. Pada suatu malam, perempuan ini kedapatan ayahnya sedang shalat di dalam kamar. Bapaknya itu langsung masuk dan berteriak.

“Saya pikir saya sudah mengunci kamar, ternyata saya lupa waktu itu. Akhirnya, Papa tahu bahwa saya sedang shalat,” ucapnya.

Benar saja, ayah Thenny marah besar. Sambil mengomel, sang kepala keluarga mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas. Orang Islam dicapnya sebagai kaum pemalas, terbelakang, pemalas, berpenampilan kumuh, dan sebagainya.

Bersyukur ayahnya hanya marah saja. Thenny tak sampai diusir dari rumah atau dimusuhi. Alhasil, perempuan ini bisa tetap istikamah untuk beribadah dan mempelajari Islam.

Thenny tetap datang ketika acara keluarga seperti Imlek dan lainnya. Hanya saja, tak lagi mengkonsumsi makanan yang haram menurut syariat. Tentang ini, ia memiliki kesan.

“Sebenarnya babi, itu masakan kesukaan saya sejak kecil, tetapi Islam melarang itu. Sejak menjadi Muslim, saya bertekad untuk tak lagi makan makanan itu,” sebutnya.

Namun, Thenny merasa dia belum bebas untuk beribadah. Dia berpikir untuk segera pergi dari rumah agar lebih leluasa menjalankan kesehariannya sebagai Muslimah.

Waktu itu, ia melihat bahwa jalan satu-satunya adalah menikah. Setelah lulus SMA, Thenny bertemu lelaki yang kemudian menjadi calon suaminya.

“Alhamdulillah orang tua setuju saya menikah, meski Papa tidak. Beberapa waktu, baru ketika saya sudah memiliki anak, Papa mulai menerima saya,” katanya.

Thenny juga memutuskan berhijab sejak lulus sekolah. Memang, semasa sekolah dirinya belum leluasa. Barulah setelah menikah, suami dan kedua mertua membantunya untuk ikut dalam sebuah majelis taklim. Di sana, dirinya bisa lebih mendalami Islam.

Thenny mendalami cara membaca Alquran atau tahsin. Hingga kini dia pun sering meluangkan waktunya untuk berkumpul dan berbagi bersama para mualaf. Mereka memiliki agenda, antara lain, mengaji Alquran di Masjid Lao Tse Jakarta.

Dahulu dia tak sengaja bertemu dengan komunitas Muslim Tionghoa di masjid tersebut. Berawal dari perdebatan tentang boleh tidaknya menghadiri perayaan Imlek. Waktu itu, Thenny sudah berumah tangga.

“Saya dan suami kurang paham mengenai aturan dalam Islam untuk menghadiri acara Imlek itu,” tutur dia.

Thenny kemudian mencari di media sosial, dan menemukan ada komunitas Muslim Tionghoa. Dari belajar itu, Thenny memahami bahwa yang dilarang dalam syariat adalah mengikuti ritual ibadah agama lain. Adapun silaturahim dengan keluarga dan rekan tetap dianjurkan.

Saat ini memang ayahnya lebih perhatian kepadanya. Mungkin, karena kini sudah banyak cucu. Papanya itu sering menghubunginya atau berkunjung untuk menemui anak-anak Thenny.

Lagipula, di rumah sang ayah tidak terlalu banyak hal-hal yang memperlihatkan ritual ibadah mereka. Thenny lebih banyak menguatkan pendidikan agama Islam untuk sang anak. Dengan begitu, mereka tak akan mudah terpengaruh.

Demikian juga ketika dia berbagi kisah kepada para mualaf yang baru saja masuk Islam. Kepada mereka, ia menyampaikan bahwa ada banyak hal yang harus dipelajari.

Bersyahadat hanya satu permulaan. Mualaf harus lebih banyak belajar karena tentu ketertinggalan mereka dengan Muslim yang berislam sejak lahir lebih banyak.

“Mualaf tidak harus cepat bangga ketika baru bersyahadat karena banyak ibadah dan ilmu Islam yang harus dipelajari, memang tidak mudah tetapi jika belajar dengan serius dan rutin tentu akan membuahkan hasil,” ujar dia.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel