Alasan Ayah Badiuzzaman Said Nursi Tutup Mulut Kambingnya dengan Masker
Badiuzzaman Said Nursi dikenal sebagai sosok yang cerdas dan jenius
Oleh : Ustadz Yendri Junaidi Lc MA, dosen STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang, alumni Al-Azhar Mesir
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Badiuzzaman Said Nursi tidak bisa dipisahkan dari gemilangnya cahaya Turki hari ini, setelah rezim Attaturk yang begitu kelabu.
Tinggal di Kekaisaran Ottoman pada akhir abad ke-19, Badiuzzaman Said Nursi terus berjuang untuk memberi pencerahan pada masyarakat Turki. Ia bergerak di atas dua pilar yaitu sains dan agama.
Badiuzzaman mulai menulis karyanya yang paling terkenal, Risale i Nur, di Barla. Kitab itu merupakan sebuah komentar komprehensif tentang Alquran yang jumlahnya lebih dari enam ribu halaman.
Beliau menuliskannya dalam bahasa Arab dan membagikan kitab itu kepada murid-muridnya. Tapi tahukah Anda jika kejeniusan sang tokoh tak terlepas dari sosok kezuhudan sang ayah.
Ayahanda Badiuzzaman, Mirza bin Ali hanya seorang pengembala domba. Ia tidak alim, tapi sangat ingin memiliki anak yang alim.
Untuk mencapai tujuan itu, hal pertama yang ia lakukan adalah menjaga kehalalan makanan yang masuk ke dalam perut isteri dan calon anaknya nanti. Tak hanya sampai di situ, ia bahkan menjaga 'kehalalan' makanan domba-dombanya.
Apa yang ia lakukan? Sungguh sesuatu yang sangat luar biasa. Ia memberi penutup mulut (sejenis masker) pada domba-dombanya.
Ketika domba-domba itu digembalakan di padang rumput yang jelas-jelas halal, penutup mulut itu ia buka satu persatu. Setelah itu,domba-domba tersebut kembali ia pasangi penutup mulut untuk mencegah mereka makan dari rumput milik orang tanpa izin.
Dari kesungguhan menjaga kehalalan makanan itulah lahir anaknya yang kemudian dijuluki sebagai Badiuzzaman (seorang yang tiada tandingannya di masa itu). Itulah Badiuzzaman Sa'id an-Nursi.
Fitnah penguasa
Namun, perjuangan imam asal Kurdi ini tidak mudah. Berkali-kali ia menjadi sasaran fitnah penguasa, bahkan akan dihukum mati. Hanya setahun setelah kembali ke Isparta pada 1934, Imam Nursi ditangkap bersama 120 pengikutnya. Di bawah pengawasan ketat, Badiuzzaman dipindahkan dari satu lokasi pengasingan ke lokasi lain selama 18 tahun.
Meskipun pemerintah Turki berusaha untuk mencegah pengikutnya meluas, Badiuzzaman sebenarnya memperoleh lebih banyak murid akibat sering dipindahkan. Ia kembali menetap di kota Isparta saat masa pengasingannya berakhir pada 1953.
Pada 1956, barulah tulisan-tulisannya boleh dipublikasikan secara komersial. Sebuah sistem politik multi partai telah diadopsi di negara itu dan ia mendorong pengikutnya untuk memilih Partai Demokrat. Badiuzzaman meyakini bahaya terbesar pada zamannya adalah komunisme.
Ia menyatakan kekhawatirannya terhadap kekuatan komunis yang dapat merusak iman umat Islam Islam. Dalam sebuah tulisan menjelang akhir hayatnya, Badiuzzaman menyerukan keimanan kepada para pemuda dan kaum muslimin untuk berjuang bersamanya.
Dalam kondisi sakit parah pada Maret 1960, Badiuzzaman melakukan perjalanan dengan beberapa muridnya ke Urfa di Turki Timur.
Secara politis, imam besar ini tidak diinginkan di Urfa. Polisi mencoba memaksanya untuk kembali, sementara orang-orang berkumpul di jalan-jalan, memprotes dan mencegah polisi menyingkirkan imam tercinta mereka.
Lepas dari perjuangan tanpa henti di dunia, pada tanggal 23 Maret 1960, hari ke-25 Ramadan 1379 H, Imam Nursi wafat.
Ia dimakamkan di Masjid Halilur Rahman, diiringi oleh kerumunan besar para pendukungnya. Badiuzzaman Said Nursi telah meninggalkan warisan yang abadi, berupa iman di dada para pemuda Turki.