Awalan

Sejarah dan Asal Mula Rebo Wekasan yang Jatuh pada 21 September 2022

 


Tahun ini, Rebo Wekasan jatuh pada hari ini Rabu, 21 September 2022.

Rebo Wekasan atau Rabu Pungkasan adalah sebuah tradisi yang digelar setiap Rabu terakhir pada bulan Safar dalam kalender Islam atau Hijriah.

Safar merupakan bulan kedua dalam kalender Islam, setelah Muharram.

Dilansir dari KompasTV, tradisi Rebo Wekasan kerap dijumpai di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, dan Madura.

Kegiatan yang dilakukan pada Rebo Wekasan meliputi tahlilan atau zikir berjemaah, shalat sunah, dan berbagai makanan dalam bentuk selamatan.Sejarah Rebo Wekasan terdiri dari berbagai versi.

Salah satu daerah yang menyelenggarakan tradisi Rebo Wekasan adalah Yogyakarta, tepatnya di Wonokromo, Bantul.

Tradisi dilakukan dengan membuat lemper raksasa dan dibagikan kepada masyarakat yang menghadiri acara.Rebo Wekasan disebut sudah ada sejak 1784. Saat itu, hidup tokoh bernama Mbah Faqih Usman atau yang dikenal sebagai Kiai Wonokromo Pertama atau Kiai Welit.

Masyarakat meyakini bahwa Kiai mampu mengobati penyakit dengan metode membacakan ayat Al Quran pada segelas air dan diminumkan kepada pasien.

Kemampuan Mbah Kiai Faqih semakin menyebar, hingga terdengar oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I (HB I).Untuk membuktikan kemampuan tersebut, Sri Sultan HB I mengutus empat prajurit untuk membawa Mbah Kiai Faqih menghadap ke keraton. Ternyata, ilmu Mbah Kiai terbukti dan mendapat sanjungan.

Sepeninggal Mbah Kiai Faqih, masyarakat pun meyakini bahwa mandi di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan mendatangkan berkah.tak lepas dari Sultan Agung, penguasa Mataram yang dulu pernah memiliki keraton di Pleret.

Upacara adat ini mulai diselenggarakan sekitar 1600. Kala itu, Mataram terjangkit pagebluk atau wabah penyakit.

Kemudian, diadakanlah ritual untuk menolak bala pagebluk.

Ritual tersebut dilaksanakan oleh Kiai Welit, dengan membuat tolak bala berwujud rajah bertuliskan basmalah dalam aksara arab sebanyak 124 baris.

Rajah tersebut dibungkus dengan kain mori putih dan dimasukkan ke dalam air, kemudian diminumkan pada orang yang sakit. Lantaran khawatir air tak cukup, akhirnya Sultan Agung memerintahkan agar air dengan rajah sisa rajah tersebut dituangkan ke dalam Kali Opak dan Gajahwong.dilansir dari laman Dinas Kebudayaan Yogyakarta, bulan Safar dianggap sebagai bulan malapetaka atau bahaya.

Untuk itu, masyarakat zaman dahulu berusaha menolaknya dengan meminta bantuan kepada orang atau Kiai yang dianggap lebih mumpuni.

Kiai Welit, saat itu, diminta membuat tolak bala berbentuk rajah yang dimasukkan ke dalam air untuk mandi agar terhindar dari bahaya. Karena semakin banyak orang yang meminta, Kiai Welit pun menemukan cara baru, yakni dengan memasang rajah diKali Opak dan Kali Gajahwong. Dengan begitu, masyarakat cukup mengambil air atau mandi di kali tanpa mendatangi Kiai Welit.Kala itu, banyak ulama yang menyebutkan bahwa pada bulan Safar, Allah SWT menurunkan lebih dari 500 macam penyakit.

Sebagai antisipasi datangnya penyakit dan agar terhindar dari musibah, para ulama pun melakukan tirakatan dengan banyak beribadah dan berdoa. Kegiatan tersebut bertujuan agar Allah menjauhkan mereka dari segala penyakit dan malapetaka yang dipercaya turun pada Rabu terakhir di bulan Safar.Hingga kini, tradisi tersebut masih dilestarikan oleh sebagian umat Islam di Indonesia dengan sebutan Rebo Wekasan atau Rabu Pungkasan.

Kendati demikian, ada pula pendapat lain yang menyatakan bahwa tradisi Rebo Wekasan baru muncul pada awal abad XVII di Aceh, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku.Selain Yogyakarta, tradisi Rebo Wekasan juga diadakan oleh sebagian masyarakat di berbagai wilayah Indonesia.Masih dari Kompas.comRebo Wekasan di Aceh dikenal dengan istilah Makmegang. Ritalnya berupa berdoa di tepi pantai dipimpin oleh seorang Teungku, dan diikuti oleh tokoh agama, tokoh masyarakat, dan berbagai elemen warga Aceh.Di Jawa, tradisi Rebo Wekasan biasanya dilakukan oleh masyarakat pesisir pantai dengan caranya masing-masing. Misalnya di Banten dan Tasikmalaya, tradisi Rebo Wekasan dilakukan dengan melaksanakan shalat khusus bersama pada pagi hari di Rabu terakhir bulan Safar.

Di Banyuwangi, tepatnya di Pantai Waru Doyong, tradisi Rebo Wekasan diperingati dengan mengadakan tradisi petik laut.Selain itu, ada pula tradisi Rebo Wekasan di Banyuwangi yang diadakan dengan cara makan nasi yang dibuat secara khusus di tepi jalan.Ada juga di Kalimantan Selatan, tradisi Rebo Wekasan disebut Arba Mustamir, yang diadakan dengan berbagai cara, seperti shalat sunah dan disertai doa tolak bala. Selain itu, ada juga selamatan kampung dengan tidak bepergian jauh, tidak melanggar pantangan, hingga mandi Safar untuk membuang sial.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel