Kisah Seorang Gadis di Purbalingga, Bisa Minta Nasi Dibawa Pulang Untuk Bapak dan Adik Dirumah
Tangkaoan layar, Kisah Seorang Gadis di Purbalingga, Bisa Minta Nasi Dibawa Pulang Untuk Bapak dan Adik /Facebook @Ning Suharminingsih Sanabel.
Lensa Purbalingga - Pagi itu sekitar pukul 10.30 WIB Ning Surahminingsing baru saja membuka rumah makan yang dikelola secara gotong-royong di wilayah Kabupaten Purbalingga.
Ning biasanya akan sibuk dengan mempersiapkan hidangan yang akan disajikan untuk para pelanggan yang akan datang di warungnya.
Baru beberapa saat dia selesai dengan aktivitasnya, datang seorang gadis mengendarai sepeda onthel lalu memarkirkannya di muka rumah makan.
"Permisi, apa benar ini RMR (Roemah Makan Rakyat) gratis?" Tanya bocah itu dengan santun nan lugu.
Seorang selain Ning yang juga relawan RMR membenarkan pertanyaan si remaja itu. Perempuan berkerudung putih itu lantas dipersila masuk.
Setelah memesan menu di meja depan, gadis itu lalu menempatkan diri di salah satu meja santap yang dibuat lesehan.
Kedatangan seorang bocah ke RMR di jalan Kirana, nomor 16, kelurahan Purbalingga Lor, Purbalingga sepagi itu menarik perhatian Ning.
Dia beberapa kali memperhatikan si remaja. Gadis itu makan dengan lahapnya.
Setelah suapan terakhir dari piring gadis itu habis, Ning berinisiatif menghampiri meja si anak.
"Rumahnya di mana, dik?" tanya Ning dengan ramah.
"Dawuhan (Desa Dawuhan, Kecamatan Padamara) Bu" jawab si gadis.
"Wah, jauh juga, ya. Tahu dari mana kalau di sini ada RMR, dik?"
"Dari bapak" jawab si gadis sesekali masih menyeruput teh hangat di depannya.
"Ooo... Bapak kerja di daerah sini, dik?" Ning meneruskan pertanyaannya.
"Tidak, Bu. Bapak tukang sol sepatu keliling" gadis ini menjawab tetap dengan keluguannya.
Seketika gadis bernama Heny ini berinisiatif bertanya kepada Ning.
"Bu, saya boleh engga nambah nasinya?" Heny memberanikan diri bertanya.
Ning terhenyak mendengar pertanyaan itu. Remaja seusia anak SMP datang sepagi itu dan dengan keluguan dan kesantunannya meminta sepiring nasi lagi.
Ning segera memenuhi pinta gadis itu. Dia mengantarkan sendiri nasi lengkap dengan lauk-pauknya ke meja Heny.
Setelahnya Ning melanjutkan aktivitas di RMR. Hingga piring kedua tandas, RMR masih belum begitu ramai. Ning kemudian kembali menghampiri Heny. Setelah basa-basi sebentar Ning kembali bertanya.
"Ini barusan dari mana, kok bisa sampe sini, dik"
"Sengaja, Bu"
Heny seperti mengingat seseorang setelah dia makan. Lalu kembali memberanikan diri untuk bertanya.
"Bu, saya boleh minta nasi untuk dibawa pulang?" Pertanyaannya menyayat hati Ning.
"Oh, ya. Boleh banget, dik. Buat ibu di rumah, ya?" Kata Ning seramah mungkin dengan mengguratkan senyum di bibirnya.
"Buat bapak sama adik, Bu. Saya sudah tidak punya ibu." Keluguannya dalam menjawab membuat Ning hampir salah tingkah.
"Kenapa adiknya tidak sekalian di ajak ke sini, dik?" Ning bertanya lagi.
"Adik saya sakit, Bu"
"Oo... Sakit apa, dik?"
"Sakit jiwa" keluguan Heny dalam menjawab pertanyaan membuat Ning terhenyak, tersayat, dan segera menyiapkan permintaan Heny.
Heny bercerita bahwa ibunya meninggal sekitar 10 tahun lalu. Bapaknya sering pulang larut malam. Dia sempat mencoba membantu ekonomi orangtuanya dengan bekerja. Namun, dia harus keluar karena mengurus bapaknya yang sempat dioperasi.
Kami mengobrol hingga Adan Dhuhur berkumandang memenuhi seisi ruangan. Heny pun turut menunaikan sembahyang Dhuhur di RMR.
Usai sembahyang, dia tak kunjung pamit memilih duduk sendiri sedang aku mulai sibuk melayani pelanggan RMR yang berdatangan karena panggilan jam makan siang.
Selang beberapa waktu saat aku tenggelam dalam kesibukanku Heny menghampiriku yang sedang sibuk di dapur. Dia meminta nomor telepon Ning. Seketika naluri ibunya mendiktekan angka-angka untuk gadis remaja itu.
Selepas itu Heny pamit. Dia gopoh-gapah mengayuh sepeda onthel yang saat akan dinaikinya harus berjingkit-jingkit dengan susah payah.
Setelah gadis lugu berkerudung putih itu berlalu Ning kembali ke dapur. Dia melongok jam di salah satu sisi dinding dapur.
Pukul 14.30 WIB. Sebegitu lama gadis itu mengumpulkan keberanian untuk menghampiri Heny. Kata Heny dalam hati.
Ning yang terkesan dengan pengalamannya lalu mengguratkan kisah itu pada status Facebook yang ia unggah pada 14 September 2020.
Doa dan semangat lalu berjibun di kolom komentar dari kawan-kawan Facebooknya. Kisah setahun yang lalu itu masih menjadi doa baik untuk Heny bagi mereka yang membaca postingan Ning di Facebook.***(TM).