Awalan

Rusak Masjid di Sintang, Tangkap Teroris Zainudin dan Bupati Sintang


 Tindakan merusak masjid oleh Aliansi Umat Islam pimpinan Zainudin harus disikapi sebagai tindakan teroris. Pasalnya, kasus perusakan ini model yang sama dilakukan oleh teroris Cikeusik pimpinan Munarman dan gerombolan teroris Front Pembela Islam (FPI).

Aparat harus segera melakukan penyelidikan dan kalau perlu menangkap Bupati Sintang dan Zainudin Ketua Aliansi Umat Islam. Pasalnya terdapat benang merah yang jelas akan adanya upaya provokasi, design perusakan melalui langkah-langkah strategis: menuju perusakan secara sangaja dan terencana.

Komnas HAM pun mengecam. Peristiwa tersebut telah mencederai nilai-nilai hak asasi manusia khususnya kebebasan beragama dan berkeyakinan dan hak atas rasa aman yang harus dihormati oleh setiap warga Negara Indonesia dan dilindungi oleh Negara.

Kasus perusakan masjid Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Sintang Kalimantan Barat bukan peristiwa biasa. Ada latar belakang lanjutan tindakan yang dilakukan secara struktural mengatasnamakan umat Islam. Umat Islam yang mana yang di-klaim oleh Zainudin dan kawan-kawan. Yang 200 orang tersebut.

Tetap tidak ada dasar hukum Islam yang membiarkan perusakan masjid dan larangan beribadah terhadap keyakinan yang berbeda, meskipun dasarnya SKB 3 Menteri. Karena keyakinan dan ibadah dijamin oleh negara.

Dikeluarkannnya surat Bupati Sintang nomor 300/226/Kesbangpol C, tertanggal 13 Agustus 2021 menjadi pemicu legalitas kejahatan bagi Zainudin dan gerombolan teroris untuk beraksi. Bupati persis menjadi instrumen kejahatan, seperti rangkaian peristiwa di Cikeusik.

Buktinya, setelah keluar surat tersebut, warga Ahmadiyah sudah menghentikan kegiatan di masjid. Namun, gerakan untuk merusak tetap berlangsung oleh Aliansi Umat Islam dengan tetap memrovokasi dengan menyebarkan foto penolakan terhadap warga Ahmadiyah. Foto-foto dibuat tanggal 21 Agustus dan seterusnya.

Bahkan spanduk yang dibuat mencantumkan berbagai ormas seperti MUI, ICMI, FPI baru, dan sebagainya. Memang ada desain untuk melakukan kejahatan perusakan atas nama agama seperti peristiwa Cikeusik.

Peristiwa Cikeusik dimulai oleh GMC (Gerakan Muslim Cikeusik) memberikan waktu satu minggu kepada Ahmadiyah Cikeusik untuk bubar. Ada persamaan ormas yang dipakai yakni Aliansi Umat Islam.

Bupati Sintang melakukan tindakan dengan menyegel masjid, sebagai dukungan terhadap aksi Zaenudin. Tujuannya jelas untuk memberikan dukungan agar tercipta kondisi warga Ahmadiyah dianggap bandel. Padahal mereka adalah kelompok organisasi yang intoleran,

Belum lagi latar belakang Zainudin, serta Muchamad Hedi yang memposting dukungan pembentukan organisasi teroris baru FPI di Kalbar, setelah organisasi teroris FPI resmi dibubarkan oleh Negara. https://www.instagram.com/p/CJsDboRppnC/?utm_medium=share_sheet. Akan tampak sekali provokasinya.

Publik tentu paham, sebagaimana kasus Cikeusik, gerombolan masyarakat yang diprovokasi oleh tindakan Zaenudin, Hedi, dan berbagai framing tentang kesesatan dan peribadatan kaum penganut Ahmadiyah, terus membesar. Beruntung aparat kepolisian berhasil mengamankan banyak jemaat Ahmadiyah dari peristiwa Cikeusik terulang di Sintang.

Kini ada baiknya aksi perusakan tersebut diselesaikan, karena akan menjadi noktah kejahatan di zaman Jokowi. Ada penyerangan terhadap warga Ahmadiyah, persis sama dengan scenario Cikeusik yang sama-sama dilakukan oleh kaum radikal, yang provokatornya adalah pendukung teroris FPI. Aparat tidak perlu ragu menangkap Zainudin dan Bupati Sintang dan seluruh orang yang terlibat dalam scenario menciderai kerukunan hidup dan toleransi di Sintang dan Indonesia.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel