Haji bagi Perempuan Tempo Dulu: dari Uzur Syar’i hingga Pelecehan Seksual
Haji bukan ibadah yang hanya diwajibkan bagi laki-laki. Perempuan juga wajib melaksanakan rukun Islam kelima itu. Namun, haji merupakan ibadah yang cukup berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya mengingat ada berbagai macam rintangan yang dapat menjadi hambatan bagi Muslim, mulai dari cuaca Arab yang berbeda dengan alam asal Muslim, kondisi fisik umat Islam, hingga keamanan perjalanan.
Kaum Hawa lebih rentan dalam melaksanakan ibadah haji. Pasalnya, ada berbagai rintangan yang menghalangi pelaksanaan haji bagi mereka. Setidaknya, Asma Sayeed dalam Women and the Hajj menulis ada dua hal yang menjadi rintangan bagi perempuan dalam menjalankan ibadah haji, yakni (1) ketika mereka menjalani iddah, yakni waktu perempuan tidak boleh keluar karena ditinggal suami, baik karena meninggal atau pun cerai; dan (2) keamanan mereka dalam perjalanan haji.Dalam persoalan pertama, bukan hanya iddah yang menjadi penghalang perempuan berhaji, tetapi juga menstruasi dan nifas juga dapat menjadi sesuatu yang tidak memperbolehkan perempuan menjalankan ibadah ini. Sebab, perempuan yang demikian haram melaksanakan tawaf, sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab fikih, di antaranya kitab Safinatun Naja karya Syekh Salim bin Sumair Al-Hadrami. Padahal, tawaf merupakan salah satu dari rukun haji.
Jika tawaf tidak dilakukan, maka dipastikan haji tidak sah. Meskipun demikian, perempuan diperbolehkan untuk tetap melaksanakan amalan-amalan haji lainnya, kecuali tawaf ini. Sebab, sebagaimana dilansir NU Online dalam tulisan Kenapa Perempuan Haid Dilarang Tawaf? setidaknya ada dua alasan menurut para ulama mengenai larangan perempuan haid melaksanakan tawaf, yakni (1) karena tawaf harus suci, sedang haid menandakan sedang dalam keadaan hadats besar; atau (2) karena tawaf dilakukan di dalam Masjidil Haram, sedang perempuan haid tidak dibolehkan untuk memasuki masjid.Sementara itu, persoalan kedua mengenai keamanan perjalanan haji menjadi illat bagi perempuan wajib menjalankan ibadah haji dengan harus dibarengi suaminya, atau mahramnya, baik kakak atau adik laki-laki, anak laki-laki, ayah, hingga paman. Hal ini tidak lain sebagai upaya untuk menemani dan menjaga mereka dalam perjalanan haji tersebut.Pasalnya, kaum hawa dalam perjalanan ini sangat rentan dilecehkan mengingat perjalanan ibadah yang cukup panjang dengan medan yang sulit ditempuh, kapal yang penuh sesak, dan kondisi alam yang tidak menentu. Ada berbagai laporan pelecehan ini terjadi kepada beberapa perempuan, mulai saat di kapal hingga saat tiba di tanah suci. Perlakuan ini tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Belanda dari bagian administrasi, tetapi juga oleh para syekh atau mutawwif yang berlaku sebagai pembimbing haji.Saat wabah epidemi Kolera dan berbagai penyakit lainnya melanda Makkah, seluruh jamaah haji wajib menjalani karantina. Dalam proses karantina ini juga, perempuan mendapatkan perlakuan yang tidak senonoh. Sebab, sebagaimana lelaki, mereka juga diharuskan untuk menanggalkan pakaiannya dengan dalih pemeriksaan kesehatan.
Kondisi keamanan yang tidak terjamin ini membuat perempuan tidak diwajibkan untuk berangkat ke tanah suci, sebagaimana ditulis Kees van Dijk dalam tulisannya yang berjudul Perjalanan Jemaah Haji Indonesia dalam Indonesia dan Haji (1997). Pasalnya, penjagaan martabat kemanusiaan menjadi bagian integral yang tidak terpisahkan dari sektor keamanan yang harus terjamin selama perjalanan dan keberlangsungan ibadah. Jika hal ini dipastikan tidak aman, maka kewajiban berhaji tidak lagi berlaku.
Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari memfatwakan tidak diwajibkannya berhaji pada masa Revolusi dan pecah Agresi Militer Belanda karena ketiadaan jaminan keamanan, sebagaimana tertulis dalam Henry Chambert-Loir dalam Naik Haji di Masa Silam (2019: 72) dan Abdul Mun’im DZ dalam Kiai Hasyim Mengharamkan Haji Politis dalam Fragmen Sejarah NU (2016: 271).